Oleh: Muammar Kadafi Siregar (Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Andalas)
Sakato.co.id – Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023 tentang Petunjuk Bagi Hakim dalam Mengadili Perkara Permohonan Pencatatan Perkawinan Antar-Umat Beragama yang Berbeda Agama dan Kepercayaan.
Surat yang ditandatangani ketua MA, Muhammad Syarifuddin pada 17 Juli 2023 ini memerintahkan para hakim untuk “tidak mengabulkan permohonan pencatatan perkawinan antar-umat yang berbeda agama dan kepercayaan”.
SEMA Nomor 2 Tahun 2023 ini diterbitkan setelah banyak desakan dari kalangan yang menyoroti karena sering dikabulkannya permohonan penetapan kawin beda agama oleh Pengadilan Negeri (PN).
Penetapan Hakim ini mereduksi hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia, walaupun dalam pertimbangannya hakim dalam memutuskan perkara itu menggunakan dasar hukum yaitu Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan.
Persoalan upaya hukum yang terjadi mengenai tentang larangan pernikahan beda agama di Indonesia sebenarnya adalah persoalan yang sudah berlangsung cukup lama, sikap-sikap perwakilan pelbagai kelompok agama juga sudah dikemukakan di ruang-ruang siding gugatan pada masa sebelumnya.
Pada 18 Juni 2015, Mahkamah Konstitusi (MK) pernah menolak gugatan terhadap UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diajukan Damian Agata Yuvens, Rangga Sujud Widigda, Anbar Jayadi, dan Luthfi Sahputra. Dalam UU tersebut ada Pasal 2 Ayat 1 yang menyatakan bahwa “Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama masing-masing agama dan kepercayaan itu”.
MK menolak gugatan terhadap pasal ini, maka pasal itu tidak berlaku sampai sekarang. Artinya, dua sejoli yang menikah harus seagama, tidak bisa beda agama.
Menyoal surat edaran MA, di Negara Indonesia sebenarnya apakah semua agama melarang nikah beda agama? Berikut adalah keterangan dari perwakilan kelompok-kelompok agama yang ada pernah dihadirkan di persidangan MK :
1. Islam : Melarang
2. Kristen Katolik (KWI) : Tidak Melarang
3. Kristen Protestan (PGI) : Tidak Melarang
4. Hindu (PHDI) : Melarang
5. Buddha (Walubi) : Patuh Terhadap UU
6. Konghucu (Matakin) : Tak bisa tapi tak boleh dihalangi
Meskipun Mahkamah Agung merujuk pada UU Perkawinan, SEMA ini dinilai sudah mengenyampingkan Undang-Undang yang lain, yakni Undang-undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan (UU Adminduk).
Dampak yang akan ditilbulkan SEMA ini nantinya akan menjadikan hakim tidak bisa lagi mengabulkan penetapan untuk mencatatkan perkawinan beda agama. Artinya SEMA mengenyampingkan UU Adminduk UU 23/2006 Pasal 35 huruf a, Pasal ini menyebutkan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksudkan dalam pasal 34 berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan.
SEMA bukanlah Undang-undang, sehingga hal itu juga tidak bisa mempengaruhi pencatatan pernikahan warga negara Indonesia (WNI) beda agama yang ada di luar negeri. Maka negara harus tetap menjalankan tugasnya mencatat pernikahan warga negara Indonesia.
kemudian bagaimana dengan Hak Asasi Mansuia, apakah SEMA ini bertentangan?
Hak asasi manusia adalah hak yang dianugerahkan tuhan Yang Maha Esa kepada setiap Individu di Bumi. Setiap orang wajib menjaga, melindungi serta menghormati hak setiap orang. Jika dilihat dari aspek Hukum Tata Negara dan HAM putusan MA ini adalah sarat Intervensi Politik yang bertentangan dengan Undang-Undang Administrasi Kependudukan serta melanggar hak asasi manusia dan SEMA No 2 Tahun 2023 merupakan kemunduran serta harus segera direvisi.
“Kadang Tuhan Menguji Manusia Dengan Cinta Beda Agama, Hanya Untuk Memastikan Apakah Manusia itu Lebih Mencintai Penciptanya Atau Ciptaanya”. kami berharap diterbitkannya SEMA No. 2 Tahun 2023 mampu merekatkan dan menguatkan antar-institusi negara bukan sebaliknya. Selain itu UU Perkawinan harus ditaati oleh masyarakat, tanpa pengecualian.
(*)