Oleh: Shilva Lioni
(Dosen Jurusan Sastra Inggris Universitas Andalas)
Sakato.co.id – Anak merupakan anugerah langsung dari Tuhan yang Maha Esa yang diberikan kepada para orang tua. Seringkali dalam menghadapi anak serta kompleksnya fase tumbuh kembangnya menjadikan para orang tua menjadi tidak sabar dalam menghadapi maupun mendidik anaknya. Espektasi yang tinggi yang mana langsung berharap anak-anaknya mengerti apa yang dimaui oleh kedua orang tua nya dan memahami apa yang dimaksudkan orang tua seakan menjadi pemicu kemarahan jika seandainya yang terjadi dan dilakukan anak justru bertolak dengan apa yang diharapkan orang tua.
Sebagaimana yang kita ketahui, anak memerlukan proses untuk tumbuh, baik secara emosional maupun fisikal. Ada fase-fase yang harus dilewatinya dan itu butuh serangkaian waktu untuk bergerak dari satu fase ke fase selanjutnya. Tidak hanya melewati fase tumbuh namun anak juga memerlukan waktu untuk sebuah fase yang disebut sebagai fase pematangan dari satu tingkat sebelum melaju ke tingkat lainnya. Kita tidak dapat memaksakan seorang anak usia dua tahun untuk memahami apa yang kita sukai dan tidak sukai seperti yang kita beritahukan kepada anak usia tujuh tahun.
Setiap tahapan usia pada dasarnya memiliki karakteristik tumbuh kembang masing-masing. Sebagai contoh dalam tumbuh kembang dan pematangan emosional, usia 1-4 tahun merupakan rentang wajar bagi seorang anak jika mengalami tantrum atau ekspresi emosi yang meledak-ledak dimana pada usia tersebut anak yang bersangkutan masih belum mampu mengelola emosinya secara tepat dan belum mampu secara paripurna menjelaskan apa yang menjadi keinginannya. Begitu juga dengan kasus tumbuh kembang bahasa, ada anak yang sudah mampu lancar berbahasa di usia dua tahun namun ada juga yang masih terbata-bata.
Pada dasarnya, mendidik anak merupakan sebuah proses yang membutuhkan waktu. Untuk menjadikannya hebat dibutuhkan waktu dan proses didikan yang panjang. Ibarat sebuah lukisan, sebelum menjadi lukisan ciamik yang indah, tentu ada proses goresan garis per garis, titik per titik, warna per warna yang perlu ditorehkan terlebih dahulu, demikian pula halnya pada anak.
Kita sebagai orang tua tidak bisa mengharapkan anak untuk tidak tantrum, namun kita tidak pernah mau menerima dan mengelola proses itu dengan baik. Kita sebagai orang tua tidak bisa mengharapkan anak mampu dan lancar berbahasa tanpa pernah memberikannya sekalipun input dan pengalaman memadai. Sebagai contoh bagaimana bisa seorang anak dapat mengetahui cara untuk menenangkan diri ketika iya sedang marah tanpa pernah diperkenalkan dan divalidasi orang tuanya nya rasa marah itu apa, seperti apa,, bagaimana, dan harus seperti apa melepaskannya. Demikian juga halnya dengan bahasa. bagaimana bisa seorang anak menggunakan kata “berlari” ketika dia belum paham konsep dan mempunyai pengalaman terkait dengan aktivitas berlari itu sendiri? Hal inilah yang kemudian terjadi pada seorang anak yang tidak mampu kemudian melampiaskan emosinya secara tepat dan juga menjawab pertanyaan tertentu dikarenakan orang tua anak yang bersangkutan tidak pernah memberikan pengalaman atau mengenalkan kata maupun memvalidasi rasa dan emosi yang dimiliki kepada sang anak.
Sebuah pemahaman muncul dari sebuah pengalaman baik itu pengalaman fisik ataupun pengalaman leksikon seperti pernah mendengar dan menyimpan hal tersebut sebelumnya sekedar dalam ingatan. Sementara itu sebuah implementasi dan aplikasi lahir dari sebuah pemahaman. Begitu pula halnya dengan cara kerja tumbuh kembang anak.
Lebih lanjut, sebuah studi menyebutkan bahwasanya otak manusia akan mengalami perubahan ketika seseorang belajar sesuatu atau menerima suatu rangsangan. Hal ini dilansir dalam NYTimes, Senin (23/5/2011) yang menyebutkan bahwasanya semakin sering seseorang mempelajari hal baru atau menerima rangsangan maka akan semakin ruwet atau banyak sinapsis terbentuk di otaknya yang menandakan adanya koneksi bagus antar sel saraf dalam otak.
Tumbuh kembang seorang anak pada dasarnya sangatlah bergantung pada didikan yang diterimanya dari lingkungan sekitarnya terutama dari kedua orang tuanya. Lalu pertanyaannya apa yang dibutuhkan seorang anak dalam fase tumbuh kembangnya? Apakah sebuah teriakan, luapan emosi, makian, cacian atau hinaan sebagai luapan emosi kemarahan? Tentu jawabannya tidak.
Banyak orang tua yang berkata bahwasanya anak akan pandai dengan sendirinya saat usia nya tiba. Lantas, apakah hal tersebut benar? Apakah sebuah pemahaman akan kehidupan yang kompleks yakni didominasi oleh berbagai memori dan pengalaman serta pemahaman dibaliknya dapat tumbuh dengan sendirinya tanpa ada sesuatu yang disebut dengan “input pengajaran”?
Dalam sebuah teori pengajaran bahasa yang diungkap oleh seorang psikiatris dari Bulgaria bernama Georgi Lozanov disebutkan bahwasanya sangat penting untuk menciptakan sebuah kenyamanan dalam sebuah proses pengajaran dan penyerapan ilmu pengetahuan. Beliau lebih lanjut menyebutkan bahwasanya dengan menciptakan lingkungan dan atmosfer yang nyaman, maka segala kecemasan, stres, dan penolakan dari psikologis akan tereduksi sehingga setiap orang dapat menikmati setiap proses pengajaran yang ada dengan kemampuan penyerapan yang lebih optimal dibandingkan ketika dia stres atau merasa tertekan.
Sebuah kenyamanan bagi seorang anak pada dasarnya tanpa kita sadari adalah hal yang cukup sederhana yaitu ketika dia merasa dicintai dan mencintai. Oleh karenanya sangat penting bagi orang tua untuk dapat mengekspresikan dan mengeluarkan seluruh cinta yang dimilikinya kepada sang anak baik itu melalui bahasa maupun sikapnya terutama dalam mendampingi proses sang anak untuk bertumbuh dari satu tahapan ke tahap lainnya. Bahasa yang penuh kelembutan dan penuh cinta tidak hanya akan membuat seorang anak merasa nyaman berada didekat orang tuanya namun juga aman dan percaya diri. Ketika seorang anak merasa dirinya dicintai, maka dia akan belajar untuk mencintai karena ini adalah dua hal yang saling terkait erat antar satu sama lainnya.
Kehadiran bahasa cinta pada dasarnya sangatlah penting dalam membangun proses tumbuh kembang anak. Tidak hanya sebagai fondasi dasar baginya untuk belajar mencintai dan mengeluarkan seluruh potensi kemampuan yang dimilikinya namun kehadirannya juga dapat menjadi contoh kelak baginya untuk mengekspresikan cintanya. Semoga kita dapat menjadi orang tua penuh cinta.
(*)