Sakato.co.id – Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) menyampaikan refleksi kritis di penghujung tahun 2025. Dalam pidato akhir tahunnya, Ketua Umum IJTI, Herik Kurniawan, menegaskan bahwa jurnalisme televisi Indonesia sedang menghadapi ujian berat, mulai dari badai pemutusan hubungan kerja (PHK), kekerasan, hingga tantangan disrupsi teknologi dan kecerdasan buatan (AI). Herik Kurniawan menyebut tahun 2025 sebagai tahun yang penuh tekanan luar biasa bagi ekosistem pers.
Tekanan tersebut datang dari himpitan ekonomi, berbagai kepentingan politik, disrupsi digital, hingga masalah keselamatan jurnalis yang belum tuntas.
“Dalam catatan IJTI, lebih dari 1.000 jurnalis terkena PHK dari berbagai stasiun televisi baik nasional maupun lokal di tahun 2025. Ini angka yang memprihatinkan. Belum lagi kekerasan terhadap jurnalis yang tengah menjalankan tugas masih terus terjadi,” ujar Herik dalam acara Refleksi Akhir Tahun di Jakarta, Rabu (31/12/2025).
Disrupsi Digital dan “One-Man Show”
IJTI menyoroti bahwa jurnalis televisi hari ini tidak lagi hanya bersaing dengan sesama media, melainkan bertarung melawan algoritma dan banjir informasi dangkal. Herik mengingatkan agar disrupsi digital tidak dijadikan pembenaran untuk menurunkan standar jurnalistik.
“Kecepatan sering dijadikan alasan mengabaikan verifikasi, dan viral dijadikan ukuran keberhasilan. Kita tegaskan, jurnalis televisi bukan content creator, dan berita bukan konten hiburan. Jurnalisme adalah tanggung jawab publik, bukan lomba cepat,” tegasnya.
Selain itu, beban kerja jurnalis di lapangan menjadi sorotan tajam.
Fenomena jurnalis yang dipaksa menjadi one-man show—mengerjakan tugas tiga hingga empat orang sekaligus atas nama efisiensi—dinilai membahayakan kualitas berita dan kesehatan mental jurnalis.
“IJTI memandang bahwa tidak ada jurnalisme berkualitas dari jurnalis yang kelelahan, tidak terlindungi, dan tidak sejahtera,” tambah Herik.
Tantangan Independensi dan Proyeksi 2026
Menyinggung situasi pasca Pemilu dan Pilkada, Herik mengingatkan bahwa jurnalis sering berada di posisi sulit antara idealisme dan keamanan pekerjaan. Namun, ia menekankan bahwa independensi tidak boleh dikorbankan demi kepentingan jangka pendek siapa pun.
Menatap tahun 2026, IJTI memproyeksikan akan terjadi fase seleksi alamiah. Media yang akan bertahan bukanlah yang paling besar atau paling viral, melainkan yang paling kredibel dan dipercaya publik.
Terkait perkembangan Artificial Intelligence (AI), IJTI mengambil sikap tegas. Teknologi harus diposisikan sebagai alat bantu, bukan pengganti peran manusia dalam jurnalistik.
“AI boleh membantu riset atau transkrip, tetapi empati, nurani, dan keputusan editorial tetap milik manusia. Jika hal ini hilang, kita sedang mengosongkan jurnalisme dari nilainya,” papar Herik.
Komitmen IJTI
Menutup refleksinya, Herik menegaskan bahwa IJTI akan terus berdiri di garis depan untuk menjaga kemerdekaan pers, meningkatkan kompetensi jurnalis, serta mengadvokasi perlindungan hukum dan kesejahteraan para jurnalis.
“Negara, aparat, dan pemilik media harus berhenti menganggap risiko liputan sebagai urusan personal jurnalis. Jurnalis televisi Indonesia tidak boleh sekadar diminta beradaptasi, tetapi juga harus dihormati dan dilindungi,” pungkas Herik.
IJTI mengajak seluruh jurnalis televisi untuk tetap teguh menjaga integritas. Sebab, yang dipertaruhkan hari ini bukan hanya profesi jurnalis, melainkan kepercayaan publik, kualitas demokrasi, dan masa depan bangsa.
Tentang Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI):
IJTI adalah organisasi profesi jurnalis televisi di Indonesia yang berkomitmen untuk meningkatkan profesionalisme, kesejahteraan, dan kemerdekaan pers demi terciptanya jurnalisme yang berkualitas dan bermartabat.
(*)









Komentar