Seminar Moderasi Beragama UIN IB, Merawat Indonesia di Era Digital

Sakato.co.id – Negara Republik Kesatuan Indonesia (NKRI) dilahirkan di atas kenyataan perbedaan-perbedaan. Atas keinginan lepas dari kolonialisme, membangun kehidupan yang damai, dengan semangat nasionalisme, para aktivis politik kemerdekaan berjuang memerdekakan diri. Hingga kini, memasuki abad serba digital, Indonesia telah berusia 78 tahun, begitu banyak tantangan agar tetap utuh. Anak bangsa-negara (nation-state) harus merawat dengan memelihara, menjaga dan membuat Indonesia relevan dengan era serba kolaborasi ini.

Demikian benang merah dari Seminar Moderasi Beragama yang bertajuk Mahasiswa Moderat Era Digital, yang digelar Universitas Islam Negeri (Imam Bonjol) Padang, di Ballroom Grand Zuri Hotel (GZH), Minggu (22/10).

banner 1080x788

“Era digital itu mengkhawatirkan, jika gerakan literasi berhenti, mahasiswa tidak dengan persatuan dan kesatuan bangsa. Begitu banyak hal yang menggerogoti pilar-pilar kebangsaan kita. Khusus di sosial media, kita setiap hari disuguhkan kebencian, berita palsu, hingga caci-maki. Ini mengerikan, lebih-lebih kepentingan politik kekuasaan Pemilu 2024,” ujar Ketua Rumah Moderasi Beragama (RMB) UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Taufik, S.Ag, M.Si di hadapan 150 mahasiswa terpilih sebagai peserta.

Kandidat doktor Sosiologi Unand ini mengajak mahasiswa untuk berpikir terbuka (open minded) terhadap perbedaan sebagai anugrah ilahi. Mambangun toleransi sejak dalam pikiran, serta jangan mudah terprovokasi dengan fakta-fakta semu dari sosial media, yang menggiring perpecahan antarsesama. Indonesia perlu dirawat melalui pemahaman keagamaan yang moderat.

“Banyak kasus, kenapa seseorang menjadi radikal dan liberal. Semua itu berangkat dari intelektualisme, literasi dan kondisi hidup yang memaksa berada pada titik tersebut. Mari belajar terus menerus, memahami perbedaan merupakan perintah agama. Agar kita bisa bersyukur dengan keadaan yang telah diberikan ini, hingga tidak terjebak pada kondisi yang rumit dalam beragama,” ujar santri jebolan Pondok Pesantren Madrasah Tarbiyah Islamiyah (MTI) Canduang, ini.

Senada dengan itu, Aidil Aulya mengungkapkan berbagai data intoleran dari berbagai survei dan penelitian, menunjukkan kegaduhan sosial muncul akibat dari ketidaktahuan. Tertutupnya cara berpikir untuk memahami perbedaan, serta menjinjing kebenaran kelompok ke ruang publik tanpa mempertimbangkan kebenaran yang lain.

“Intoleran muncul dari cara berpikir yang sempit atas kenyataan empirik kehidupan. Beragama dimulai dari ruang pikir yang sempit, sehingga menumbuhkan perbedaan dari pada mencari titik temu,” ujar santri jebolan Madrasah Aliyah Negeri (MAN) Koto Baru Padangpanjang ini.

Narasumber berikutnya, kandidat doktor sejarah peradaban Islam, Pasca Sarjana UIN Imam Bonjol Padang, Muhammad Nasir, S.S, MA menguji pola pikir peserta dengan instrumen sederhana. Hasilnya, pola-pola yang muncul dari peserta menunjukkan sikap egois dalam beragama hadir karena tidak ada akses menggali perbedaan. Padahal, pengalaman dalam perbedaan status sosial sangatlah penting.

“Tidak ada jalan lain, kecuali belajar lebih serius dan mendalam. Jangan berhenti pada satu titik rasa puas. Sebab perubahan begitu cepat, apalagi pengaruh kinerja algoritma pada sangat mengkhawatirkan. Instrumen sederhana itu telah memberi sinyal lampu kuning bagi para cendekiawan muda,” ungkap santri jebolan MAN Batumandi, Kabupaten Agam ini.

Acara sehari penuh ini diikuti oleh mahasiswa utusan dari fakultas Adab dan Humaniora (FAH), Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FDIK), Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI), Syariah dan Ilmu Hukum (FSIH, Tarbiyah dan Ilmu Kependidikan (FTK), Ushuluddin dan Studi Agama-Agama (FUSA), Sains dan Teknologi (FST). Juga diikuti utusan dari Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM), Suara Kampus, Menwa, Tapak Suci, Panjat Dinding, Boxer, Olahraga, Kopma, Pengembangan Diri, DKTV, Bengkel Kata, Sema-Dema Universitas, Teater, Mapala, Baitul Quran, Kaligrafi, Musik, Surau Konstitusi, Sinematografi, Bahasa dan Pramuka.

Wakil Dekan III FDIK, Dr. Abdullah Khusairi, MA yang membuka dan menutup acara ini secara resmi mengungkapkan tentang pentingnya dialektika mahasiswa yang membahas moderasi beragama. Doktor jebolan Sekolah Pasca Sarjana (SPs) UIN Syarif Hidayatullah, Ciputat itu menantang agar mahasiswa menulis di media massa tentang moderasi beragama dari perspektif keilmuan dan pengalaman hidup yang ada.

“Mengusung pemikiran yang sempit di sosial media hanya memperlihatkan wajah ummat beragama yang tidak elegant. Sebab agama pada dasarnya membawa kebenaran, kedamaian, memberi pemahaman tentang kenyataan dunia dalam perbedaan yang indah. Selagi pemahaman keagamaan yang diusung itu membuat gaduh secara sosial, berarti ada cara-cara memahami agama sejak dalam pikiran, sudah keliru karena faktor-faktor lain dalam kehidupan seseorang,” ujar santri jebolan Pondok Pesantren Alhidayah Sarolangun, ini.

Menurut dosen pengampu mata kuliah literasi media ini, isu-isu di media sosial mudah mempengaruhi siapapun, termasuk mahasiswa yang fakir narasi karena malas membaca. Menikmati informasi di sosial media harus hati-hati, karena rawan hoax dan fakenews.

“Melalui acara ini, peserta hendaknya menjadi aktor perdamaian dari seluruh perbedaan yang muncul ke permukaan karena pemahaman agama yang mengerdilkan wawasan kebangsaan kita. Era digital harus disambut dengan sikap bersedia berkolaborasi untuk kemajuan bersama, bukan kehancuran bersama,” tutupnya.

Wakil Rektor III UIN Imam Bonjol Padang, Welhendri Azwar, S.Ag., M.Si, Ph.D mengungkapkan, acara Seminar Moderasi Beragama dirancang sebagai mandatori dari Kementerian Agama. R.I., yang sebenarnya adalah kebutuhan untuk menghargai perbedaan budaya keagamaan di masing-masing aliran pemikiran, kawasan, serta merawatnya dengan baik tanpa membenci satu sama lain.

“Kunci moderasi beragama yakni kemanusiaan, kemaslahatan umum, adil, berimbang, taat konstitusi, komitmen kebangsaan, toleransi, anti kekerasan dan penghargaan kepada tradisi. Ini hal yang sudah lama dan diperbarui menjadi program yang dibutuhkan pada era digital,” ujar jebolan Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) ini.

Berdasarkan hasil dari instrumen quality control terhadap peserta pada seminar ini, kegiatan serupa harus dilakukan terus menerus di kampus agar bisa melahirkan banyak aktor perdamaian dan agen moderasi beragama. Kampus adalah tempat berdialektika wacana-wacana untuk pengembangan ilmu pengetahuan, seterusnya diimplementasikan dalam kehidupan sosial masyarakat.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *