Karhutla Landa Sumbar: Ratusan Hektare Ludes Terbakar, BNPB Ingatkan Potensi Bencana Kering Meluas

Sakato.co.id – Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) kembali melanda wilayah Sumatera Barat, menghanguskan ratusan hektare lahan di Kabupaten Tanah Datar dan Kabupaten Solok. Insiden ini terjadi di tengah peringatan dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mengenai potensi bencana hidrometeorologi kering yang meluas di berbagai wilayah Indonesia, dipicu oleh dominasi Monsun Australia.

Menurut Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, Abdul Muhari, Ph.D., titik api terbaru terdeteksi di Nagari Simabur, Kecamatan Pariangan, dan Nagari Pagaruyung, Kecamatan Tanjung Emas, Kabupaten Tanah Datar. Di dua lokasi ini, sekitar delapan hektare hutan dan lahan dilaporkan terbakar. Namun, perhatian utama tertuju pada karhutla di Nagari Paninggahan, Kecamatan Junjung Sirih, Kabupaten Solok, yang telah melahap area fantastis seluas kurang lebih 300 hektare.

“Hingga siaran pers ini diturunkan, luasan titik api mulai berkurang setelah satgas karhutla gabungan turun bersama untuk upaya pemadaman dan pendinginan,” ungkap Abdul Muhari, dalam keterangan persnya, Minggu (20/7/2025).

Ia menambahkan bahwa kondisi cuaca cerah berangin menjadi tantangan besar bagi tim pemadam di lapangan, namun semangat mereka pantang menyerah hingga api benar-benar padam.

Prediksi Cuaca Ekstrem dan Peningkatan Titik Panas

Peringatan dini dari BNPB menyebutkan bahwa dalam tiga hari ke depan (20-22 Juli 2025), sebagian besar wilayah Indonesia akan menghadapi kondisi kering dan panas. Wilayah Sumatera, Kalimantan, dan sebagian Sulawesi bagian tengah dan selatan diperkirakan akan diselimuti cuaca cerah hingga berawan dengan kelembapan rendah dan kecepatan angin cukup tinggi. Sementara itu, Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara sedang berada di puncak musim kemarau dengan suhu siang hari yang ekstrem dan minimnya potensi hujan.

Hasil monitoring satelit dari Pusat Data dan Operasi (Pusdalops) BNPB menunjukkan peningkatan signifikan titik panas (hotspot), terutama di Riau, Sumatera Barat, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, dan Jambi, dengan intensitas lebih dari 150 titik per hari. Situasi ini diperparah oleh angin kencang dari arah tenggara yang mempercepat penyebaran api dan menyulitkan upaya pemadaman.

Tak hanya karhutla, kekeringan meteorologis juga menjadi ancaman serius. Indikator Hari Tanpa Hujan (HTH) ekstrem, lebih dari 31 hari, terpantau di NTB, NTT, Bali, dan sebagian Jawa Timur. Beberapa wilayah seperti Pulau Sumba, Pulau Timor, dan sebagian Lombok bahkan berpotensi mengalami penurunan ketersediaan air yang drastis.

Meski demikian, potensi tanah longsor dan gerakan tanah masih tergolong rendah hingga sedang, terutama di wilayah dataran tinggi Papua dan beberapa titik rawan di Sulawesi Tengah. Namun, kewaspadaan tetap diperlukan mengingat kondisi geologi yang labil di kawasan perbukitan.

Langkah Mitigasi dan Kesiapsiagaan Nasional

Menanggapi potensi bencana ini, berbagai langkah mitigasi dan penanganan telah menjadi prioritas utama. Kepala BNPB, Letjen TNI Dr. Suharyanto S.Sos., M.M., telah menginstruksikan seluruh kepala daerah terdampak untuk segera menerbitkan status tanggap darurat. Rencananya, Kepala BNPB akan memimpin Rapat Koordinasi (Rakor) Karhutla di Riau pagi ini, Senin (21/7).

BNPB bersama instansi terkait, Forum Koordinasi Pimpinan Daerah (Forkopimda), BPBD, TNI, Polri, Manggala Agni, Tagana, dan kelompok masyarakat peduli api (MPA) terus memperkuat patroli terpadu. Daerah dengan status siaga darurat seperti Riau, Kalimantan Barat, dan Toba juga terus melakukan penanganan darurat baik darat maupun udara, termasuk operasi modifikasi cuaca (OMC) untuk mempercepat hujan buatan.

Selain itu, posko lapangan karhutla dan alat pemadam cepat telah diaktifkan di daerah rawan. Untuk mengantisipasi kekeringan, pemerintah daerah bersama BPBD melakukan pendataan dan distribusi air bersih, serta memobilisasi bantuan logistik dan suplai irigasi darurat.

BNPB juga mengimbau masyarakat untuk lebih bijak dalam penggunaan air dan mulai beradaptasi dengan pola pertanian tahan kering. Terkait potensi gerakan tanah, sosialisasi kepada warga yang tinggal di lereng perbukitan terus digencarkan, termasuk pemantauan visual dan penggunaan sensor tanah sebagai sistem deteksi dini.

Dalam menghadapi musim kemarau yang diprediksi berlangsung hingga akhir September, BNPB menekankan pentingnya peran aktif seluruh elemen masyarakat, pemerintah, dan dunia usaha.

“Pantau terus peringatan dini dari lintas instansi terkait melalui situs resmi, media sosial, maupun aplikasi mobile. Ketahanan lingkungan, pengurangan risiko bencana, serta keselamatan jiwa dan keberlanjutan kehidupan masyarakat adalah tanggung jawab kita bersama,” pungkas Abdul Muhari.

(*)

Komentar