Sakato.co.id- Dalam dunia yang semakin terkoneksi melalui media sosial, influencer memiliki peran yang semakin penting dalam merancang citra dan pesan politik calon presiden selama pesta pemilihan umum.
Influencer, yang seringkali memiliki jutaan pengikut yang setia, memiliki kemampuan untuk menyebarkan pesan politik secara cepat dan efektif, terutama di antara generasi muda yang cenderung aktif di platform-media sosial.
Calon presiden dan tim kampanye mereka memanfaatkan kehadiran influencer untuk mencapai demografi yang mungkin sulit dijangkau melalui saluran tradisional. Dengan menggandeng influencer yang memiliki audiens yang sebagian besar terdiri dari pemilih muda, calon presiden dapat meningkatkan daya tarik mereka di kalangan kelompok demografis kunci ini.
Strategi ini juga memberikan kesan bahwa calon presiden memahami dan bersifat inklusif terhadap ragam pandangan dan gaya hidup masyarakat.
Influencer, dalam konteks media sosial, merujuk kepada individu yang memiliki pengaruh besar terhadap audiens mereka di platform seperti Instagram, Twitter, YouTube, atau TikTok.
Mereka membangun dan mempertahankan basis pengikut yang kuat dengan menyajikan konten yang menarik dan relevan, seringkali terkait dengan gaya hidup, fashion, kecantikan, atau topik tertentu lainnya. Kekuatan influencer terletak pada kemampuan mereka untuk memengaruhi pendapat dan perilaku pengikut mereka, baik dalam hal gaya hidup maupun keputusan pembelian.
Sedangkan komunikasi politik menurut para ahli, dapat diartikan sebagai proses penyampaian pesan politik oleh aktor politik kepada masyarakat dengan tujuan mempengaruhi opini, sikap, dan perilaku politik.
Harold Lasswell, salah satu ahli komunikasi politik terkemuka, merumuskan model komunikasi politik dengan pertanyaan dasar “Who says what, in which channel, to whom, and with what effect?” Model ini menyoroti pentingnya aktor politik, pesan, saluran komunikasi, audiens, dan dampak dari komunikasi politik.
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan influencer dalam komunikasi politik tidak hanya mencakup endorsement atau dukungan langsung, tetapi juga melibatkan kolaborasi yang lebih mendalam.
Influencer sering kali terlibat dalam pembuatan konten kreatif yang menciptakan naratif positif seputar calon presiden, memberikan pandangan yang lebih personal dan bersahabat terhadap calon tersebut. Hal ini bertujuan untuk mengurangi kesan formalitas politik dan menciptakan ikatan emosional antara calon dan pemilih potensial.
Meskipun penggunaan influencer memberikan manfaat dalam meningkatkan visibilitas dan mendapatkan dukungan, muncul pula kekhawatiran seputar etika dan transparansi. Pemilih harus mempertimbangkan sejauh mana informasi yang disajikan oleh influencer bersifat obyektif dan faktual, serta sejauh mana pengaruh mereka dapat memengaruhi persepsi politik.
Literasi politik yang tinggi menjadi kunci untuk mengidentifikasi dan menilai apakah kolaborasi antara influencer dan calon presiden hanya sebatas strategi pemasaran atau mencerminkan visi dan nilai politik yang substansial.
Dampak negatif yang muncul melibatkan kekhawatiran etika. Kolaborasi antara influencer dan calon presiden dapat menciptakan kemungkinan adanya bias atau distorsi informasi. Pemilih perlu waspada terhadap influencer yang mungkin menyajikan informasi dengan sudut pandang subjektif atau bahkan menyampaikan pesan politik dengan meminimalkan kekurangan calon. Ini dapat mengaburkan garis antara dukungan pribadi influencer dan tanggung jawab mereka untuk menyediakan informasi yang objektif kepada pengikut mereka.
Selain itu, kekhawatiran seputar transparansi juga muncul. Pemilih harus dapat membedakan antara konten yang bersifat promosional dan konten yang independen. Jika influencer secara terang-terangan mendukung calon presiden, tanpa memberikan klarifikasi bahwa ini adalah bagian dari kampanye atau endorsement berbayar, hal ini dapat merugikan proses pemilihan umum karena masyarakat dapat diperdaya oleh kesan bahwa dukungan tersebut bersifat sukarela dan tidak dibayar.
Dampak terakhir yang perlu diperhatikan adalah potensi untuk memengaruhi persepsi politik. Influencer memiliki kemampuan untuk membentuk opini dan sikap publik melalui daya tarik personalitas mereka. Pemilih harus bertanya sejauh mana pandangan mereka dipengaruhi oleh citra yang dibangun oleh influencer, dan sejauh mana keputusan mereka didasarkan pada evaluasi objektif terhadap calon presiden.
Secara keseluruhan, komunikasi politik melalui influencer dapat memberikan manfaat signifikan, penting bagi pemilih untuk melihat lebih dari sekadar popularitas dan mempertimbangkan implikasi etika serta transparansi. Hal ini membantu memastikan bahwa pemilihan umum tetap merupakan refleksi yang akurat dari kehendak dan kepentingan masyarakat, bukan hanya hasil dari strategi pemasaran politik yang canggih.
Dalam menghadapi dinamika ini, pendidikan politik yang komprehensif menjadi suatu keharusan.
Pemilih perlu diberdayakan dengan pengetahuan untuk memahami bagaimana media sosial dan influencer dapat memainkan peran dalam politik, dan sekaligus mengembangkan keterampilan kritis untuk menyaring informasi politik dari berbagai sumber. Dengan cara ini, pemilih dapat membuat keputusan yang lebih terinformasi dan memperkuat fondasi demokrasi yang sehat.
(*)