Sakato.co.id – Ibadah haji dilaksanakan tiap tahun pada saat Idul Adha. Di Indonesia ada gelar yang disematkan pada mereka yang pulang haji, yang ternyata bukan dari Arab.
“Pak/Bu Haji” itulah sematan gelar yang diberikan untuk mereka yang baru saja menyelesaikan ibadah Haji di Arab Saudi. Ternyata, sapaan itu tidak ada dalam syariat Islam atau aturan dari Kerajaan Arab Saudi.
Sebenarnya, ada alasan mengapa panggilan ini menjamur di Indonesia. Menurut Jacob Vredenbregt dalam Indonesia dan Haji (1997), dikutip dari detik.com, kejadiannya dimulai pada dua abad lalu saat Belanda masih menjajah Indonesia.
Tiap warga Indonesia yang pulang dari haji menyebarkan ajaran atau ilmu baru. Kebanyakan memantik rakyat untuk berontak pada pemerintah Hindia Belanda.
William Daendels, mulai memikirkan cara untuk memberi ‘tanda’ bagi mereka yang pulang haji. Pemikiran ini muncul pada tahun 1810-an.
Senapas dengan Daendels, Gubernur Jendral Thomas Stanford Raffles juga memiliki pemikiran yang sama. alam catatannya berjudul History of Java (1817), Raffles bahkan terang-terangan “menyerang” orang pergi haji.
Katanya, orang Jawa yang pergi haji itu sok suci. Karena dengan kesuciannya itu mereka bisa menghasut rakyat dan menjadi ujung tombak perlawanan di kalangan kelompok masyarakat.
Meski begitu, tulis Dien Madjid dalam Berhaji di Masa Kolonial (2008), kebijakan politis haji baru diterapkan secara menyeluruh pada 1859 lewat aturan khusus. Aturan ini mengatur secara jelas mekanisme penerimaan orang yang baru saja pulang haji.
Lewat mekanisme ini, mereka bakal melalui serangkaian ujian.
Apabila lolos ujian, maka mereka diharuskan menyantumkan gelar haji dalam sapaan atau nama. Sekaligus juga diwajibkan mengenakan pakaian khas orang haji, yakni jubah ihram dan sorban putih.
Latar belakang aturan ini sebenarnya berangkat dari ketakutan dan sikap traumatis pemerintah Hindia Belanda. Sebab, di abad ke-19, banyak pemberontakan bermula dari mereka yang pulang haji. Salah satu yang terbesar adalah Perang Jawa, dari 1825 hingga 1830.
Jadi, tak heran kalau pemerintah memandang itu semua dengan penuh kewaspadaan. Lewat pencantuman gelar haji, mereka mudah untuk mengawasinya.
Apabila ada pemberontakan, maka pemerintah akan langsung menangkap orang bergelar haji di suatu daerah. Ini tentu lebih efektif dan efisien dibanding harus mencari dalang dari suatu pemberontakan.
Sebab, dalam pikir kompeni, pemberontakan sudah pasti dipelopori jamaah haji.
Dari sinilah, asal-usul penyebutan gelar haji di Indonesia. Sejak aturan tersebut, pemerintah kolonial sama sekali tidak mengendurkan pengetatan itu. Di abad ke-20, ketika ajaran Islam tersiar dari Makkah ke Indonesia, mereka tetap mengawasi ketat eks-jamaah haji.
Sayangnya, arus dekolonisasi di Indonesia pasca-kemerdekaan tidak melunturkan panggilan politis tersebut. Alhasil, panggilan itu tetap terwariskan turun temurun dan melekat hingga kini.
(*)