Sakato.co.id – Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Cabang Sumatera Barat (Sumbar) melaksanakan respons tanggap darurat bencana hidrometeorologi yang melanda sejumlah wilayah di Sumatera Barat pada periode November hingga Desember 2025. Kegiatan ini difokuskan pada pelayanan kesehatan anak secara komprehensif, mencakup layanan medis, gizi darurat, serta dukungan kesehatan mental dan psikososial.
Ketua IDAI Cabang Sumbar, dr. Asrawati, M.Biomed, Sp.A(K), Subsp.TKPS, FISQua, CIIQA, menyampaikan bahwa anak-anak, khususnya bayi dan balita, merupakan kelompok paling rentan dalam situasi bencana sehingga membutuhkan intervensi khusus dan terintegrasi.
“Bencana hidrometeorologi yang terjadi, termasuk banjir di Kota Padang pada akhir November 2025, berdampak besar pada kesehatan anak. Bayi dan balita membutuhkan perhatian khusus, terutama terkait gizi, tumbuh kembang, dan kesehatan mental,” ujar dr. Asrawati dalam keterangannya di Padang, Jumat (19/12/2025).
IDAI Sumatera Barat memberikan pelayanan kesehatan di posko pengungsian dan melalui kunjungan rumah (home visit) yang tersebar di tujuh kabupaten/kota terdampak, yakni Kabupaten Agam, Pesisir Selatan, Padang Pariaman, Tanah Datar, Solok, Pasaman, serta Kota Padang.
“Layanan yang diberikan meliputi pemeriksaan kesehatan, rujukan medis, deteksi dini gangguan tumbuh kembang, skrining gangguan tidur, gangguan kecemasan, hingga post-traumatic stress disorder (PTSD) pada anak,” ucap dr. Asrawati.
Ia menjelaskan, berdasarkan data hingga 16 Desember 2025, tercatat 631 pasien anak telah mendapatkan pelayanan kesehatan. Kasus terbanyak adalah Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA) sebanyak 373 kasus atau sekitar 59 persen. Selain itu, IDAI Sumbar juga menemukan merebaknya kasus campak di salah satu posko pengungsian di Matur, Kabupaten Agam, yang menjadi perhatian serius karena tingginya risiko penularan di lingkungan pengungsian.
Menurut dr. Asrawati, temuan tersebut menegaskan pentingnya upaya pencegahan penyakit menular tetap berjalan di situasi darurat.
“Kasus campak di posko pengungsian menunjukkan bahwa imunisasi tetap harus menjadi prioritas meskipun berada dalam kondisi bencana,” katanya.
Selain kesehatan fisik, IDAI Sumatera Barat juga menaruh perhatian besar pada dampak psikologis pascabencana. Kegiatan trauma healing dilakukan melalui pendekatan bermain, menggambar, bernyanyi, serta aktivitas ramah anak lainnya dengan melibatkan orang tua dan relawan terlatih. Hasil skrining di Palembayan, Kabupaten Agam, menunjukkan 65 persen anak mengalami gangguan tidur, sementara sebagian anak teridentifikasi mengalami gangguan kecemasan yang memerlukan pemantauan dan rujukan lanjutan.
Dalam aspek pemenuhan gizi, IDAI Sumatera Barat mengimplementasikan intervensi Pemberian Makan Bayi dan Anak dalam Situasi Darurat (PMBA/IYCF-E). Hasil pendataan menunjukkan sekitar 400 bayi dan balita di lokasi pengungsian membutuhkan makanan pendamping ASI (MPASI).
“Kami melakukan pendataan, penyiapan, pengolahan, hingga distribusi MPASI ke posko pengungsian, disertai edukasi kepada orang tua agar pemberian makan tetap aman dan sesuai usia anak,” jelas dr. Asrawati.
Sebagai bagian dari perlindungan kelompok rentan, IDAI Sumbar juga mendorong pembentukan Ruang Ramah Ibu dan Anak (RRIA) di lokasi pengungsian. Ruang ini dirancang aman, privat, dan nyaman bagi ibu hamil, ibu menyusui, serta anak usia 0–5 tahun, serta dilengkapi fasilitas pendukung menyusui, PMBA, sanitasi layak, edukasi, dan konseling yang dikelola oleh petugas terlatih.
Dalam pelaksanaannya, IDAI Sumatera Barat mencatat sejumlah kendala, di antaranya keterbatasan akses obat-obatan rutin untuk penyakit kronis anak seperti epilepsi, serta terbatasnya alat kesehatan di beberapa lokasi. Oleh karena itu, IDAI merekomendasikan penguatan ketersediaan obat di rumah sakit kabupaten/kota serta perlunya jaminan layanan kesehatan yang jelas bagi anak-anak yang kehilangan orang tua akibat bencana melalui koordinasi lintas sektor.
“Respons bencana untuk anak harus dilakukan secara terkoordinasi dan berkelanjutan agar dampak jangka panjang dapat dicegah,” tutup dr. Asrawati.
(*)









Komentar