Sakato.co.id – Kisruh berkepanjangan terkait aset dan tanah wakaf milik Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) Sumatera Barat telah mencapai titik nadir. Konflik internal yang telah membara sejak 2022 ini tak hanya macet di meja hukum, tetapi telah menjelma menjadi tragedi kemanusiaan yang serius, menghantam langsung keberlangsungan pendidikan dan kesejahteraan ratusan guru.
Akibat konflik yang melibatkan Yayasan Doktor Haji Abdullah Ahmad di Jalan No. 10 Sawahan Timur, Padang Timur, tersebut, minat generasi muda untuk menimba ilmu di sekolah-sekolah PGAI anjlok drastis. Yang lebih memilukan, para tenaga pendidik harus berjuang untuk hidup dengan gaji yang kerap tertunggak hingga enam bahkan delapan bulan, dengan nominal yang jauh dari kata layak.
Kepala Sekolah PGAI Sumbar, Yurnalis, S.Ag., M.Pd., yang juga menjabat sebagai Sekretaris Pembina Yayasan, mengungkapkan bahwa situasi semakin memanas setelah adanya dugaan aksi intimidasi. Ia melaporkan adanya sekelompok orang tak dikenal yang masuk ke lingkungan sekolah pada Rabu (10/12/2025).
“Kami sudah melaporkan kejadian tersebut ke Polresta Padang. Kami khawatir aksi itu akan memicu kegaduhan karena diduga dilakukan oleh pihak tertentu,” ujar Yurnalis, didampingi kuasa hukum dan jajaran kepala sekolah, Sabtu (13/12/2025).
Diduga kuat, konflik internal ini dipicu oleh ulah segelintir pihak yang berupaya merusak tatanan organisasi yang didirikan oleh para ulama tersebut.
Kuasa hukum Yayasan, Jufri, SH, MH, menjelaskan bahwa kisruh ini telah melahirkan sedikitnya lima laporan polisi sejak tahun 2022. Tiga kasus di antaranya, terkait dugaan pemungutan sewa aset, penggelapan dana panti asuhan, dan pengambilan paksa brankas, hingga kini masih dalam proses penanganan.
“Kami berharap aparat penegak hukum bertindak tegas agar persoalan ini tidak berlarut-larut dan dunia pendidikan tidak terus menjadi korban,” tegas Yurnalis.
Jufri bahkan mengancam akan melaporkan penanganan kasus ini ke Propam Polda Sumbar jika dalam waktu dekat tidak ada kejelasan hukum.
Dampak paling nyata dari konflik ini terasa di ruang-ruang kelas yang kini lengang. Kepala Sekolah SMP PGAI, Yenti Puspita, menyampaikan bahwa kepercayaan masyarakat telah menurun drastis.
“Dulu siswa SMP mencapai 30 orang, sekarang tinggal 12 siswa. Kondisi serupa juga terjadi di tingkat TK, SD, hingga SMA. Jumlah peserta didik sangat minim,” ungkap Yenti dengan nada memprihatinkan.
Lebih lanjut, Yenti membenarkan kondisi pilu para guru yang belum menerima gaji hingga delapan bulan terakhir. Gaji yang mereka terima, katanya, bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan dasar sehari-hari, termasuk untuk membeli bahan bakar kendaraan.
“Untuk beli BBM saja sering tidak cukup. Namun, kami para guru tetap bertahan karena kecintaan terhadap PGAI. Kami tetap mengabdi dan berharap kejayaan PGAI seperti masa lalu bisa kembali,” tuturnya lirih.
Ia menegaskan bahwa PGAI adalah lembaga wakaf yang didirikan untuk kepentingan umat. Bagi para guru, bertahan di tengah badai ini adalah tanggung jawab moral untuk menyelamatkan dan mengembangkan lembaga pendidikan bersejarah tersebut.
“Kami tidak menggantungkan hidup di PGAI. Niat kami hanya ingin mengembangkan dan menyelamatkan lembaga ini demi masa depan pendidikan umat,” tutup Yenti.
(*)





Komentar