“Bhayang Terakhir”: Kisah Nyata Pengabdian dan Kesetiaan Polri yang Menggugah Hati

Sakato.co.id – Suasana haru dan inspiratif menyelimuti Mapolda Sumatera Barat pada Senin (7/7/2025), saat acara syukuran dan pemutaran film pendek berjudul “Bhayang Terakhir” digelar. Film yang sarat makna ini merupakan karya perdana yang disutradarai oleh Ketua Bhayangkari Polda Sumbar, Nuzuarlita Permata Sari Harahap, dan telah sukses meraih penghargaan sebagai “Film Pendek Terinspiratif” dalam rangka peringatan Hari Bhayangkara ke-79.

Acara pemutaran film dihadiri langsung oleh Kapolda Sumbar, Kabid Humas Polda Sumbar, seluruh kru film yang terlibat, serta puluhan anak yatim piatu dari salah satu panti asuhan di Kota Padang, menambah kesan mendalam pada momen tersebut.

Nuzuarlita Permata Sari Harahap, yang juga berperan sebagai penulis naskah, mengungkapkan bahwa cerita dalam “Bhayang Terakhir” terinspirasi dari pengalaman pribadi dan realita yang ia alami di lingkungan keluarganya. “Film ini terinspirasi dari realita yang ada di lingkungan keluarga kami,” ujarnya kepada wartawan usai pemutaran film.

Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa inti dari film ini adalah tentang pengabdian seorang anggota Polri kepada bangsa dan negara, bahkan hingga menempatkan tugas di atas kepentingan pribadi dan keluarganya.

“Makna utama dalam film ini adalah pengabdian polisi terhadap negara dan bangsa. Dalam ceritanya, tokoh utama lebih mengutamakan tugas dibandingkan cinta dan keluarganya,” ungkapnya.

Tak hanya itu, “Bhayang Terakhir” juga membawa pesan kuat tentang kesetiaan, khususnya dari sudut pandang seorang Bhayangkari yang senantiasa memberikan dukungan penuh kepada suaminya sebagai abdi negara. “Pesan yang kami sampaikan adalah tentang kesetiaan seorang istri Bhayangkari dalam memberi dukungan penuh kepada Bhayangkaranya,” jelas Nuzuarlita.
Proses Produksi dan Ambisi ke Depan

Nuzuarlita membeberkan bahwa proses produksi film berjalan selama empat hari bersama tim, tanpa kendala berarti berkat inspirasi dari kisah nyata. “Film ini kami garap selama empat hari. Karena ceritanya diambil dari pengalaman pribadi dan realita, jadi tidak banyak kesulitan, termasuk dalam mencari pemeran,” katanya.

Meskipun demikian, ia mengakui bahwa tantangan terbesar yang dihadapi adalah keterbatasan jarak, mengingat saat itu ia sedang berada di Jakarta. “Tantangan utama adalah jarak antara saya dan kru karena saya berada di Jakarta saat proses produksi. Tapi Alhamdulillah, karena ini film berdasarkan kisah nyata, tidak ada kesulitan yang berarti,” kata dia.

Dengan optimisme yang tinggi, Nuzuarlita berencana untuk mengembangkan “Bhayang Terakhir” menjadi film layar lebar dengan durasi yang lebih panjang di masa mendatang. “Insya Allah, naskah film ini akan kami lanjutkan menjadi film panjang. Apalagi banyak dukungan dari masyarakat terhadap film ini,” ujarnya penuh harap.

Penghargaan yang diraih film “Bhayang Terakhir” ini dipersembahkan Nuzuarlita sebagai bentuk apresiasi kepada keluarga besar Polda Sumbar. “Penghargaan ini kami persembahkan untuk Polda Sumbar sebagai bentuk hadiah dari kami, Bhayangkari, dalam wujud karya film,” pungkasnya.

(*)

Komentar