Sakato.co.id – Benedict Anderson dalam Imagined Communities (1983) mendefinisikan bangsa sebagai komunitas politik yang dibayangkan. Artinya, meskipun sebagian besar warga negara tidak saling mengenal, mereka merasa terhubung sebagai satu kesatuan melalui imajinasi kolektif mengenai sejarah, bahasa, budaya, atau tanah air.
Menurut Anderson, media berperan penting dalam membentuk imajinasi kebangsaan tersebut. Surat kabar dan buku, sebagai contoh, memungkinkan penyebaran narasi bersama kepada masyarakat yang tersebar secara geografis. Masyarakat merasa menjadi bagian dari komunitas yang sama karena membaca berita, cerita, atau simbol yang serupa.
Selama empat dekade terakhir, media sebagai pembentuk imajinasi kebangsaan mengalami perubahan drastis. Pada 1990-an, internet mulai berkembang dan mengubah cara manusia memproduksi serta menyebarkan informasi. Kemudian, pada dekade kedua abad ke-21, media sosial muncul sebagai saluran dominan dalam membentuk persepsi, emosi kolektif, dan identitas kebangsaan.
Kini, perkembangan teknologi kecerdasan buatan menghadirkan lompatan baru. Dalam tiga tahun terakhir, AI berkembang sangat pesat. Mesin cerdas mulai mengambil alih proses produksi, distribusi, dan konsumsi informasi.
Berbeda dengan era sebelumnya yang masih bergantung pada manusia, pada era AI, informasi dihasilkan, diolah, dan disebarkan oleh sistem otomatis yang bekerja dengan kecepatan dan skala sangat besar.
Perubahan ini berpotensi membentuk jenis nasionalisme yang baru. Penulis berpendapat bahwa kemajuan AI akan melahirkan nasionalisme kecerdasan buatan. Bentuk nasionalisme ini belum dapat dipastikan, karena bergantung pada arah dan karakter teknologi AI yang akan berkembang pesat dalam beberapa tahun terakhir.
AI nampak bekerja dengan sistem algoritma yang relatif berbeda dengan internet. Ia relatif tidak terikat oleh batas geografis dan nilai-nilai lokal. Misalnya, ketika kita menulis kata kunci pencarian dalam bahasa Indonesia, atau berlokasi di Indonesia, atau sejumlah preferensi yang berkaitan dengan Indonesia, informasi yang ditampilkan kepada kita ada adalah informasi yang berhubungan dengan Indonesia.
Selain itu, sebagai pengguna, kita cenderung sudah dipilihkan menu informasi yang utuh siap dikonsumsi. Bila di internet kita sudah dipilihkan alternatif jawabannya, hari ini, kita sudah dipilihkan jawaban yang sudah sangat sesuai dengan yang kita cari atau tanyakan.
Prompt yang kita ciptakan dapat membimbing masuk pada gelembung informasi bentukan AI berdasarkan algoritma mereka. Seperti kita masuk dalam ruang kelas, lalu kita mendapatkan doktrin tertentu berdasarkan jawaban AI tersebut. Di satu sisi, gelembung algoritma ini dapat menciptakan ruang-ruang imajinasi nasional yang terbatas dan khusus berdasarkan prefensi pencarian kita. Kondisi ini potensial kita menciptakan imajinasi tentang bangsa Indonesia yang berbeda-beda di antara kita.
Di sisi lain, saat ini, mesin AI juga mengolah informasi berdasarkan data global. Algoritma bekerja secara netral terhadap identitas dan budaya, kecuali kita sebagai pengguna mengarahkannya dengan prompt yang khusus.
Oleh karena itu, tanpa pengarahan khusus, interaksi dengan AI cenderung menghasilkan jawaban yang bersifat universal. Ini bisa berdampak positif. Masyarakat menjadi lebih terbuka terhadap budaya global dan terdorong mengembangkan sikap inklusif dalam memandang perbedaan.
Namun dalam kehidupan berbangsa, kondisi ini menyimpan risiko. Paparan informasi yang seragam dan universal dapat menjauhkan warga dari akar budaya dan sejarahnya. Imajinasi kebangsaan yang selama ini menyatukan kita perlahan bisa memudar dan tergantikan oleh identitas transnasional.
Risiko ini makin besar jika informasi yang disediakan AI disusun pihak tertentu untuk menampilkan narasi tertentu dan menyembunyikan yang lain. Situasi ini telah biasa kita kenali dalam logika algoritma media sosial. Bisa jadi, AI akan menjadi senjata bagi kelompok atau bangsa tertentu untuk membentuk dan menguasai cara pandang kita.
Ketika warga bangsa makin jarang terpapar informasi nasional dan lebih banyak menyerap nilai dari luar, mereka mulai kehilangan gambaran utuh tentang bangsanya. Pandangan hidup dibentuk oleh konten mesin yang asing terhadap sejarah dan nilai-nilai kita. Akibatnya, nasionalisme perlahan memudar, tergantikan oleh imajinasi yang tidak memiliki kedekatan emosional dengan republik ini.
Namun, situasi ini bukan tanpa harapan. Indonesia masih memiliki peluang untuk membentuk arah perkembangan AI yang selaras dengan nilai-nilai nasional. Kita perlu mengembangkan sistem AI yang berakar pada bahasa, budaya, dan kepentingan bangsa. Dengan cara itu, imajinasi kolektif tetap terjaga dan tidak terombang-ambing oleh logika asing.
Salah satu langkah krusial adalah membangun kedaulatan teknologi. AI harus dikembangkan dengan visi kebangsaan yang jelas. Kita perlu menegosiasikan posisi dan kepentingan Indonesia dalam percakapan global, agar tidak sekadar menjadi konsumen pasif dari teknologi yang diproduksi bangsa lain.
Yang tak kalah penting adalah bagaimana sebagai bangsa kita memiliki kedaulatan informasi. Tanpa kedaulatan informasi, tidak akan ada kedaulatan dalam membentuk imajinasi. Dan tanpa kedaulatan imajinasi, nasionalisme akan kehilangan makna sebagai kekuatan pemersatu bangsa.
Oleh karena itu, di era kecerdasan buatan ini, tantangan kita bukan sekadar bagaimana memanfaatkan AI, tetapi bagaimana memastikan bahwa teknologi ini tidak merusak fondasi kebangsaan yang sudah dibangun selama ini. Kita perlu membangun ekosistem teknologi yang dapat memperkokoh nilai dan imajinasi nasional.
Atas dasar itu, kebijakan yang ada saat ini perlu melampaui sekadar dorongan untuk mengadopsi teknologi. Kita memerlukan investasi serius dalam riset, pengembangan, dan pendidikan AI yang berbasis pada kebutuhan serta visi Indonesia. Nasionalisme di era AI bukan hanya soal mempertahankan wilayah atau bahasa, melainkan soal siapa yang mengendalikan narasi, memori kolektif, persepsi dan imajinasi publik.
Jika arah pengembangan AI kita biarkan tanpa pijakan yang kuat, maka yang kehilangan arah bukan hanya teknologinya, melainkan kita sendiri sebagai bangsa.
(*)
Komentar