Tanggapi Aksi Demo Ribuan Warga Air Bangis, Sejumlah Lembaga Imbau Gubernur Turun Tangan

Sakato.co.id – Ribuan warga Air Bangis Pasaman Barat sudah dua hari melakukan aksi demonstrasi di Halaman Kantor Gubernur Sumbar. Meski sudah dua hari gubernur Mahyeldi belum juga menemui massa tersebut.

Menanggapi hal itu, sejumlah lembaga dan organisasi di Sumbar seperti WALHI Sumbar, Jaringan Pembela HAM Sumbar, PBHI Wilayah Sumbar, WCC Nurani Perempuan, Pelita Padang dan sejumlah advokat menghimbau Gubernur dan Kapolda berdialog bersama peserta aksi.

banner 1080x788

Pertama, agar gubernur dan kapolda segera menemui serta berdialog dengan masyarakat Nagari Air Bangis Kecamatan Sungai Beremas Kabupaten Pasaman Barat dan Mahasiswa dari Aliansi BEM Sumatera Barat yang melakukan aksi. Tujuannya agar diperolehnya suatu solusi atas tuntutan masyarakat dan mahasiswa yang disepakati secara sadar, tanpa paksaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia;

Kedua, massa aksi terdiri dari kelompok yang karena keadaan dan kondisinya lebih rentan, yaitu dari ibu-ibu, perempuan, anak-anak, serta balita. Jika tuntutan massa aksi tidak dan atau lama mendapat respons yang tepat dari pemerintah, dikhawatirkan dapat memicu terjadinya pelangaran HAM terhadap massa aksi, baik dalam bentuk ommision ataupun action dari state actor.

Pada kesempatan itu, mereka juga mengingatkan dan meminta membahas 14 hal dalam dialog bersama masyarakat dan mahasiswa massa aksi :

Terkait rencana industri patut dipertimbangkan untuk tidak melanjutkan, membatalkan atau menarik rekomendasi rencana industri.

Terkait klaim pemerintah atas kawasan hutan dan hukum patut dipertimbangkan 14 hal ini. Pertama, akar masalah pada tanah dan sumber daya alam, khususnya di bidang kehutanan bersumber pada sejarah politik kebijakan atas kawasan kehutanan warisan pemerintah kolonial belanda abad ke 18, yang dikenal dengan “modern school of scientifict forestry” yang mengabaikan dimensi manusia sosial atau aspek manusia didalam kawasan hutan.

Kedua, klaim sepihak oleh negara atas nama “hutan negara” dan “kawasan hutan” yang dihasilkan dari politik kebijakan kehutanan pada masa orde baru yang berwatak otoriter masih menjadi masalah dasar penyingkiran masyarakat sekitar hutan dan pengabaian hak kelola masyarakat hukum adat, lokal, tempatan atas hutan dan sumber daya alam.

Ketiga, Dalam banyak praktik kebijakan kehutanan juga sering ditemukan diskiriminasi terhadap hak-hak masyarakat sekitar hutan.

Keempat, Negara wajib melindungi masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan dengan cara melakukan koreksi kebijakan kehutanan, termasuk didalamnya melalukan koreksi atas proses penetapan dan pengukuhan sepihak oleh negara dengan mengutamakan penerapan prinsip dan norma HAM dalam tatakelola hutan secara nasional.

Kelima, negara wajib menghormati dan melindungi hak-hak masyarakat di sekitar dan dalam kawasan hutan dengan cara melakukan audit perizinan untuk mencegah marginalisasi, ekslusi, dan pelanggaran HAM, serta demi terwujudnya keadilan sosial ekologis.

Selanjutnya, negara wajib memastikan penataan ruang kembali, pengukuhan kawasan hutan dengan disertai upaya penyelesaian konflik tenurial, revisi tatarung, pengakuan wilayah kelola masyarakat, sehingga memenuhi prinsip clear and clean, legal, dan legitemed.

Ketujuh, dalam data pemerintah (BPS, 2020) menyebutkan bahwa dari 1.159 Nagari yang ada di Sumatera Barat, hanya 209 Nagari saja yang berada diluar kawasan hutan (18,03%), selebihnya 950 Nagari tercatat berada didalam dan disekitar kawasan hutan (81,97%). Terhadap situasi ini, tentu perlu dipastikan bahwa pemerintah tidak mengabaikan hak-hak masyarakat hukum adat/lokal/tempatan yang melekat pada asal-usulnya, namun berada didalam dan/atau sekitar kawasan hutan

Kedelapan dalam penjelasan PP nomor 24 tahun 2021, Pemerintah menyatakan terdapat perkebunan kelapa sawit dalam kawasan hutan seluas 3,3 juta ha yang dimiliki oleh korporasi dan sebagian lagi kebun rakyat dan belum mendapat kepastian hukum, atas situasi ini pemerintah memberlakukan prinsip ultimum remedium.

Kebijakan ini kemudian memicu kritikan, karena pemerintah dianggap hanya akan mengampuni kejahatan perusahaan yang mengunakan hutan untuk perkebunan sawit secara melanggar hukum, tetapi tidak memberlakukan hal yang sama untuk kebun rakyat dalam skala kecil, yang secara historis hidup dan kehidupannya berada didalam dan sekitar kawasan hutan;

Kesembilan pada 19 Agustus 2022 bertempat di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat, telah dilaksanakan pertemuan penjajakan “Penyelesaian Konflik Agraria di Nagari Air Bangis” yang diikuti oleh Polda Sumatera Barat, Polres Pasaman Barat, Polsek Sungai Beremas, WALHI Sumatera Barat (pendamping masyarakat), Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat dan Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat dan telah dapat menyepakati bahwa para pihak sepakat menjajaki penyelesaian konflik dengan pendekatan dialogis dan restorative justice.

Bahwa para pihak sepakat mendukung solusi (salahsatunya) perhutanan sosial yang menjadi solusi penyelesaian. Kebutuhan penyelesaian itu, WALHI Sumatera Barat beserta Dinas Kehutanan Provinsi Sumatera Barat akan melakukan Inventarisasi dan verifikasi data, peta, plotting masyarakat yang berada di Nagari Air Bangis, Kecamatan Sungai Beremas, Kabupaten Pasaman Barat.

Kesepuluh pemberlakuan hukum pidana bukan solusi yang tepat dalam penyelesaian keberadaan perkebunan masyarakat yang diklaim didalam kawasan hutan tanpa perizinan berusaha. Keputusan pemidanaan berpotensi mengabaikan hak-hak masyarakat adat/lokal/tempatan yang berada di sekitar dan/atau dalam kawasan hutan. Terlebih keberadaan masyarakat yang mengantungkan hidup pada perkebunan tersebut berjumlah ratusan kepala keluarga (ribuan jiwa). Hal ini akan menimbulkan persoalan turunan, karena menyangkut dengan keberlangsungan hidup.

Kesebelas pemerintah perlu berhati-hati dalam menempatkan aparat keamanan dilokasi yang berkonflik, terlebih berada dan/atau memihak (memberikan pengamanan) kesatu pihak yang terlibat konflik, dalam hal ini adalah pemegang izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK) – Hutan Tanaman Rakyat a.n KSU Air Bangis. Meskipun pemerintah menyebutkan ada alasan yang mendasarinya, tetapi situasi ini akan memberikan kesan diskriminasi dan pemihakan pemerintah kepada kelompok tertentu. Sebaiknya tarik dan jangan lagi tempatkan aparat kepolisian di lapangan, terutama brimob.

Keduabelas pemerintah patut mempertimbangkan untuk mengakaji dan/atau mereview izin usaha hasil hutan kayu (IUPHHK) – Hutan Tanaman Rakyat a.n KSU Air Bangis Divisi I, II, dan III karena tumpang tindih dengan perkebunan masyarakat yang bukan bagian dari anggota KSU Air Bangis, sehingga keduabelah pihak mendapat perlakuan yang adil.

Ketigabelas polda Sumatera Barat patut mempertimbangkan menghentikan proses penyelidikan dan penyidikan perkara pidana kehutanan dalam kasus a quo, membebaskan masyarakat yang ditangkap dan ditahan, kemudian menghormati dan menjalankan kesepakatan penyelesaian konflik yang telah disepakati pada 19 agustus 2022 di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat, yang intinya penyelesaian masalah dengan dialogis dan restoratif justice.

Keempatbelas diantara solusi penyelesaian konflik yang dapat ditempuh dan berdasarkan kepada kebijakan yang berlaku diantaranya adalah melalui skema Tanah Objek Reforma Agraria, Perhutanan Sosial, dan/atau pelepasan status kawasan hutan sebagaimana yang pernah dibicarakan dan disepakati pada pertemuan 19 Agustus 2022 di Kantor Komnas HAM RI Perwakilan Sumatera Barat.

Demikian himbauan ini disampaikan, semoga, proses penyelesaian konflik agraria ini dapat dilaksanakan dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *