Surat Kepada Pak S.N. yang Ingin Jadi Gubernur Sumbar

Penulis: Dr. Emeraldy Chatra, M.I.Kom (Dosen Universitas Andalas)

Pak S.N. yang saya hormati,

Semangat Pak S.N. membangun kampuang luar biasa. Saya berikan dua jempol. Siapapun yang berniat membangun kampung halaman dengan ikhlas pasti saya apresiasi. Semoga menjadi amal jariyah yang pahalanya kelak melapangkan jalan ke surga.

banner 1080x788

Namun hendaknya apa yang terjadi di kampung halaman diarifi dengan pikiran lapang. Jangan marah-marah, begitu kata penyair kondang Sumbar, Pinto Janir. Sebab marah tidak menyelesaikan persoalan.

Lagi pula kalau tidak paham betul masalah orang Sumbar, nanti seperti teman saya yang 20 tahun lalu pulang dengan semangat membangun kampung. Dia investasikan uangnya untuk membuka usaha, agar banyak menyerap tenaga kerja.

Tapi dua tahun kemudian dia marah bukan main kepada orang Minang. Modalnya ludes. Miliaran. Sampai-sampai ia tidak mau lagi mengaku dirinya orang Minang. Diajak berbahasa Minang pun tak mau, pasti menjawab pertanyaan dengan bahasa Indonesia.

Jangan sampai seperti itu akhirnya. Pikir dulu pendapatan, sesal kemudian tak berguna. Baitu kecek inyiak wak dulu.

Apa sebenarnya masalah kita di Sumbar ini? Kurang uang, kurang harta kah? Kurang ilmu kah?

Jawaban saya, kita di Sumbar bukan kekurangan uang dan kekurangan ilmu. Bandingkanlah berapa rumah megah tahun ini di Sumbar dengan tahun 70an.

Terasa sekali orang Sumbar tidak kekurangan uang. Mobil-mobil baru dan mewah luar biasa banyak. Pesawat ke Jakarta selalu penuh. Perantau buta saja yang mengira orang Sumbar ini miskin.

Ilmu juga makin tinggi karena banyak yang sarjana. Perguruan di Sumbar melahirkan ribuan sarjana setiap tahun. Sampai-sampai wisuda diselenggarakan tiga kali dalam satu tahun.

Belum lagi yang kuliah di Jawa dan mengabdi di kampung. Bahkan kini banyak pula yang berhasil mencapai gelar doktor. Ilmu orang Sumbar sekarang sudah berkembang jadi kecerdikan. Sebagian di antaranya menjadi cadiak buruak.

Lantas mengapa Sumbar ini terasa bukannya malah maju, tapi makin sengsara? Banjir tiap sebentar datang. Longsor lebih sering terjadi. Driver ojol (ojek online) makin banyak karena peluang kerja yang tersedia hanya itu. Kecelakaan lalu lintas jadi kejadian rutin dan tak menarik lagi untuk diberitakan. Ada apa?

Banyak jawaban yang dapat kita berikan. Dulu kita diskusi di grup ini tentang modal sosial yang mengalami defisit. Ada juga argumentasi tentang wibawa kepemimpinan yang melorot. Individualisme dan materialisme makin meningkat.

Nilai-nilai budaya Minangkabau ditinggalkan. Berkembangnya budaya balai, mengalahkan budaya surau/niniak mamak. Pendeknya, macam-macam. Sulit untuk mengatakan semua itu salah karena bukti-bukti empirisnya memang ada.

Semua jawaban itu saya ekstraksi dalam konsep sederhana: kita kehilangan semangat untuk BARAGIAH (memberi). Semua jawaban di atas dasarnya karena kita tak ingin memberi, hanya ingin MANDAPEK (mendapat). Kata BARAGIAH yang hilang itulah sumber malapetaka di negeri kita.

Orang-orang yang dengan rakusnya membabat hutan semuanya hanya memikirkan ‘mandapek’. Pejabat yang menerima suap juga berpikir ‘mandapek’. Mereka yang membangun kafe-kafe maksiat itu juga hanya berpikir ‘mandapek’.

Saya yakin sebagian dari yang mencalonkan diri jadi kepala daerah, baik provinsi maupun kabupaten/kota sekarang ini juga ingin ‘mandapek’. Tak akan ‘baragiah’, kecuali sebagai siasat untuk dapat suara.

Filsafat jaraiah manantang buliah benar-benar mewarnai kehidupan kita. Tak ada dalam kamus hidup mereka kata ‘baragiah’. Termasuk ‘baragiah’ untuk kesejahteraan orang lain.

Kalaupun mereka ‘baragiah’ kebanyakan tidak ikhlas, karena ingin dipuji. Atau karena mengharapkan kuantitas dan kualitas ‘mandapek’ yang lebih besar.

Dulu orang Minangkabau adalah bangsa yang suka ‘baragiah’. Tanaman di kebun yang diminta sekedar untuk masak sayur sekali makan tidak akan dijual. Rumah gadang punya rangkiang yang isinya khusus untuk menjamu musafir dan orang kampung sebelah yang gagal panen.

Amai-amai di Bukittinggi membuka gelang dan cicin emasnya untuk membantu pemerintah RI membeli pesawat. Tanah wakaf ada di mana-mana.

Itu ajaran budaya orang Minang yang sebenarnya. Sekarang hanya sebagian kecil yang tersisa.

Hemat saya, kalau Allah menghendaki Pak S.N. jadi gubernur Sumbar periode 2024 – 2029 maka ketidakmauan ‘baragiah’ itulah yang akan jadi tantangan berat. Orang-orang seperti itu akan banyak di sekeliling Pak S.N, dengan berbagai tingkat pendidikan, latar belakang profesi, serta kepiawaian mengambil hati yang luar biasa. Mereka hanya ingin ‘mandapek’ sesuatu dari Pak S.N..

Kalau orang-orang yang otaknya hanya ingin ‘mandapek’ itu tidak dikendalikan, maka sukses yang dibayangkan hanya akan jadi fatamorgana. Isapan jempol belaka.

Mudah-mudahan Pak S.N. tidak hanya bisa meloloskan diri dari kepungan mereka yang selalu berpikir ‘mandapek’, tapi juga menebarkan semangat ‘baragiah’ ke tengah masyarakat. Pulihkan kembali semangat asli orang Minangkabau yang hilang itu.

Semoga demikian.

 

Salam dari saya,

Emeraldy Chatra

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *