Oleh: Miko Kamal
(Advokat dan Wakil Rektor 3 Universitas Islam Sumatera Barat)
Sakato.co.id – Ini kali kedua saya ke Solo. Pertama, tahun 2022 yang lalu. Sekitar bulan Januari. Waktu itu singgah untuk makan siang saja. Yang terakhir ini cukup lama, 3 hari: 7, 8 dan 9 Desember 2023.
Tanggal 7 dan 8 saya mengikuti rapat kerja nasional Peradi. Tempat rapat dan menginap berbeda. Panitia menyediakan bus untuk memobiliasi peserta dari penginapan ke tempat acara. Di satu kesempatan saya sengaja tidak menggunakan bus dari penginapan ke tempat acara. Saya berjalan kaki.
Dekat, sekitar 1 km saja. Saya menginap di hotel Sunan, Jalan A Yani. Kegiatan di hotel Alila yang terletak di Jalan Slamet Riyadi.
Sebagian besar dari rute perjalanan itu tidak ada trotoar. Hampir tiba di di hotel Alila ada trotoar sedikit. Trotoarnya tidak terawat. Trotoar lama. Pangkal dan ujung trotoar tidak dilengkapi _ramp_ atau jalan melandai. Trotoarnya juga tidak dipasang _guiding block_ (panduan untuk tuna netra).
Bagi saya, ketiadaan _ramp_ tidak masalah benar. Kaki saya masih sangat kuat menaiki dan menuruninya. Yang masalah itu bagi penyandang disabilitas, terutama penyandang tuna netra dan tuna daksa.
Tuna netra akan susah naik dan turun trotoar. Kalau tidak sangat hati-hati, para tuna netra yang menggunakan trotoar itu bisa tersungkur karena tertarung pangkal dan ujung trotoar.
Bagi tuna daksa juga masalah besar. Tuna daksa biasanya menggunakan kursi roda. Dengan trotoar serupa itu, mereka tidak bisa mengaksesnya: tidak bisa naik dan turun. Kalaupun ada helper-nya, mengangkat untuk menaikkan dan kursi roda ke atas trotoar akan sangat berat.
Pagi, Sabtu 9 Desember 2023, saya sengaja melakukan “Solo Run” (berlari sendiri di Solo). Tidak saya lakukan di Solo saja. Saya terbiasa berlari di kota-kota yang saya singgahi.
Dari hotel Sunan (Jl. A Yani) saya berputar ke kiri arah belakang, menempuh jalan perumahan masyarakat menuju Jalan Adi Sucipto. Di perempatan lampu pengatur lalu lintas Adi Sucipto saya memutar ke kiri lagi menuju Jalan Slamet Riyadi. Tidak jauh. Hanya 4.02 km, saya sudah sampai lagi di hotel Sunan (Jalan A Yani).
Di jalan kecil perumahan masyarakat yang saya lewati, tidak ada trotoar. Itu sudah biasa. Di Padang dan beberapa kota lainnya di Indonesia juga begitu. Di jalan besar, hampir tidak ada trotoar. Kalaupun ada, trotoarnya sama dengan yang di Jalan Slamet Riyadi.
Kelebihan jalan-jalan di Solo ada. Jalan-jalannya berukuran lebar dan satu arah. Umumnya dibagi 3 lajur yang diberi pembatas permanen yang ditanami pohon pelindung besar. Kota jadi teduh. Lajur tengah untuk kendaraan bermotor. Kiri dan kanan lajur untuk pesepeda dan pejalan kaki atau pelari seperti saya.
Untuk jalan yang dibagi 3 lajur harus dipresiasi. Masalahnya memang hanya pada trotoar yang tidak layak dan tidak pula ramah terhadap penyandang disabilitas. Juga tidak ramah terhadap orang tua.
Saya heran. Nama Solo sangat besar dan harum. Tapi, ternyata, kota yang dulu dipimpin oleh Jokowi dan sekarang di bawah kendali cawapres Gibran Rakabuming Raka itu tidak hormat pada para penyandang disabilitas dan orang tua atau orang berkebutuhan khusus.
Itu catatan kecil saya untuk kota Solo.