Sakato.co.id – Ketua Komisi IV DPRD Kota Padang, Buya Haji Iskandar, menyoroti maraknya dugaan pungutan liar (pungli) di sekolah dasar dan SMP di Kota Padang.
Praktik pungli ini dinilai bertentangan dengan semangat pendidikan murah dan cepat, serta melanggar regulasi yang berlaku.
“Kami menghimbau agar kepala sekolah, baik SD maupun SMP, segera menghentikan segala bentuk pungutan, termasuk yang bermodus uang komite. Uang komite hanya boleh dipungut dalam bentuk sumbangan sukarela dari orang tua yang mampu, dan harus jelas peruntukannya. Jangan sampai anak-anak dari keluarga miskin menjadi korban,” tegas Iskandar saat ditemui, Selasa (7/1/2025)
Pernyataan ini muncul setelah adanya keluhan dari sejumlah wali murid SD Negeri 31 Padang, Kecamatan Padang Timur, terkait pungutan-pungutan yang memberatkan.
Salah satu wali murid, yang enggan disebutkan namanya, mengungkapkan bahwa mereka diminta membayar Rp25 ribu untuk lomba menghias kelas dan berbagai iuran lain yang tidak transparan.
“Wali murid juga diwajibkan membayar uang kas dan uang jalan-jalan sebesar Rp300 ribu. Jika tidak membayar, kami dikeluarkan dari grup paguyuban,” ungkap seorang wali murid.
Kepala SD Negeri 31 Padang, Ratna Yuriani, saat dikonfirmasi awak media, mengaku tidak mengetahui adanya pungli tersebut.
“Saya hanya tahu bahwa kelas harus bersih, rapi, dan nyaman. Jika ada pungutan, itu mungkin inisiatif guru dengan wali murid, dan tidak ada intervensi dari pihak sekolah,” jelasnya.
Buya Haji Iskandar menyatakan bahwa pihak DPRD akan memanggil Kepala Dinas Pendidikan Kota Padang beserta kepala sekolah terkait untuk mengonfirmasi dugaan pungutan ini.
“Kami harap ini menjadi perhatian serius. Di tengah situasi ekonomi yang sulit, masyarakat tidak boleh dibebani dengan iuran yang tidak jelas, apalagi untuk kepentingan non-esensial seperti lomba atau jalan-jalan,” katanya.
Masyarakat Kota Padang berharap langkah tegas dari pemerintah dan DPRD untuk menghentikan praktik pungli di sekolah. Pendidikan harus tetap menjadi hak yang terjangkau bagi semua kalangan, tanpa diskriminasi ekonomi.
(*)